Wilayah Tengah Kawasan Pusat Administrasi,
Ekonomi, Olahraga, Pariwisata dan Seni Budaya
Nostalgia Tempoe Dulu dan Kala Kini
Pada
kesempatan kali ini, saya akan coba beberkan beberapa informasi sejauh yang
saya tahu mengenai daerah Lorok dibagian tengah. Lorok bagian tengah seperti
yang pernah saya singgung di artikel sebelumnya boleh dikatakan sebagai pusat
kegiatan administrasi serta kegiatan ekonomi. Desa Ngadirojo sendiri merupakan
Ibukota kecamatan sudah barang tentu memiliki beberapa gedung atau badan
pemerintahan yang dipusatkan didaerah ini. Sedang kawasan Wiyoro lebih
cenderung memberi warna pada aktifitas ekonominya. Jadi boleh dikatakan, kedua
desa tadi merupakan barometer taraf hidup dan mobilitas penduduk Lorok.
Kawasan Administratif
Beberapa
bangunan Dinas pemerintahan dari zaman saya kecil dulu yang masih ada antara
lain Pendopo Kawedanan, Koramil, Kantor Polisi dan Kantor Kecamatan lama berada
di Desa Cokrokembang yang masih dekat dengan kawasan Kreteg. Gedung Kecamatan
yang baru juga dibangun didekat bangunan lama persis pada perbatasan antara
wilayah desa Cokrokembang dengan Desa Ngadirojo.
Sebagai
pusat pemerintahan kecamatan kota tentunya sejak dari dahulu Ngadirojo serta
Wiyoro ditunjang oleh beberapa sarana penting yang kebetulan masih berguna
sampai saat ini. Seperti halnya illustrasi desa Cokrokembang maka akan saya
coba paparkan bangunan lama dari arah Utara.
Kantor Kecamatan
Seorang
camat atau seorang Kepala desa merupakan figure Top bagi penduduk Lorok waktu
itu. Setiap kali kita berpapasan dengan mereka perasaan bangga muncul tatkala
senyum sapaan yang kita berikan mendapat balasan. Rasanya mereka-mereka itu
tidak kalah dengan tenarnya dengan para pejabat pusat dinegeri ini. Salah satu
orang camat yang saya ingat waktu itu sering kali digodain oleh kawula muda
setempat biasa disebut Pak Dono. Apalagi sesaat setelah kita mendengar deru
mobil dinasnya sontak semua semangat memberi “sambutan”. Mobil dinasnya Camat Lorok
waktu itu masih berupa Mitsubishi Colt rakitan Krama Yudha Tiga Berlian dengan
2 lampu bunda dikanan kirinya serta warna orange.. sangatlah khas! Kalau
sekarang mana ada kepala daerah yang mau?.. Selain itu, Gedung kecamatan lama
lebih memiliki nilai seni budaya dengan adanya relief dikanan kiri gedung serta
memiliki halaman yang luas nan teduh. Ada pohon besar yang menjulang sehingga
siapapun betah bermain disitu apalagi waktu itu ada meja pingpong yang setiap
sore tidak pernah absen digunakan. Benar-benar bangunan milik “rakyatlah”.
Ketika pagi sampai siang digunakan kantor, sore hari selepas azhar digunakan
sebagai arena bermain anak-anak serta main pingpong penduduk sekitar.
Dahulu
anda akan seringkali melihat bangunan seperti model diatas. Bangunan yang
menyerupai candi dengan ukuran mini tersebut merupakan patokan batas wilayah
desa. Tahun ini rasanya bangunan tersebut masih berdiri antara batas desa
cokrokembang dan Ngadirojo, didepan Kantor Kecamatan Baru, akan tetapi kondisi bangunan
tersebut tidaklah begitu terawat, bisa jadi dalam waktu dekat akan digantikan
dengan model patokan yang baru. Di Lorok atau bahkan Pacitan sepertinya mulai
digalakkan gerakan “pagerisasi” dengan model cungkup buat akses ke halaman
depan rumah penduduk. Ya hal itu dibuat sebagai modal cagar budaya 50 tahun
lagi kali… seperti halnya kawasan Solo, Jogja atau Bali. Kembali ke bangunan
patokan lama, bilamana kita hitung sejak tahun 1990 bangunan tersebut telah
berdiri lebih dari 20 tahun. Saran saya, sebagai orang Lorok ya mohon dipugar
saja tidaklah perlu diganti.. siapa tahu ada generasi diatas kita menengok
kampong halamanya kembali.
TK Dharma Wanita
TK
Dharma wanita merupakan salah satu TK favorit dikecamatan ini. Saya ingat salah
satu guru TK saya waktu itu, kalau tidak salah namanya Bu Par. Dia mengajar
banyak hal dan jujur waktu itu TK sudah diajari menulis walau hanya menirukan
contoh dipapan tulis, menggambar serta ketrampilan tangan atau hasta karya.
Seingat saya, waktu saya kecil apabila ke sekolah diantar oleh orang tua ya
malunya bukan kepalang… teman-teman yang lain lho sudah banyak yang pergi
sekolah sendiri bersama kakak atau mbak-nya. Aktivitas yang sering kali kita
lakukan ialah bermain karya cipta dengan media tanah liat atau “lempung” yang
diberi air. Karya yang kita buat ya model mobil-mobilan tanpa atap lengkap
dengan tempat duduknya, kapal perang yang diletakan pada sandal bekas sehingga
bila lempung sudah kering bisa ditarik, kalau yang cewek biasanya membuat
miniature baduk dapur, pot kecil atau tumbukan beras dan kopi, selain itu juga membuat
rangkaian rakit dari pelepah pisang yang disatukan dan banyak lagi. Gak heran
ini TK merupakan TK favorite.
Dari
segi fasilitas bangunan, rasanya tidak banyak yang berubah, gedung model L
serta playground yang ada didepan. Waktu itu lantainya sudah tekel tebal dari
semen yang warnanya gelap itu. Sedangkan jenis dan posisi playground juga tidak
banyak mengalami perubahan. hampir serupa dengan waktusaya kecil. Ada pelosotan
“Slide” ditempat yang sama, saat ini
diberi tambahan bentuk ikan, ada juga “Swing”, jungkat-jungkitan “see-saw” dari
kayu – sekarang mungkin dari logam. Yang baru mungkin bola rangka besi. Yang
membedakan mungkin hanyalah pohon kamboja dihalaman depan sebelah utara yang
tumbuh rindang dihamparan rumput tebal buat main bola plastik.
Satu
kisah yang paling menghebohkan waktu saya kecil ialah kisah si Tuharno. Waktu
itu kami diajari kerja bhakti mengepel lantai. Anak dimanapun pasti senang
sekali bila diajak bermain air dan kami pun juga senang bukan kepalang. Apalagi
ada pompa air model “dragon”… Barang yang wow bagi masyarakat Lorok waktu itu.
Biasanya kami menimba air pakai tali karet yang melingkari roda besi diatas, atau
dua batang batang bamboo.. Tuharno semangat sekali memompa air sampai-sampai
airnya meluap ke lantai sumur.. so dia terpeleset dan jatuh. Tragisnya bagian
belakang kepalanya membentur lis semen lantai sumur. Sontak tangis dan darah
berkucuran. Untung saja luka tersebut hanya melukai kulitnya dan tidak membuat
dia gegar otak. Sontak cerita Tuharno kembali menguak memory saya setelah salah
satu “kakang” saya mengingatkan tentang teman saya ini.
Lapangan Ngadirojo: Pusat Olahraga, Hiburan
Rakyat – Layar Tancap dan Orkes
Lapangan
Desa Ngadirojo merupakan pusat olahraga sekaligus pusat hiburan masyarakat
Lorok waktu itu. Selain kerap kali mengelar tournament Sepakbola gala desa, yang
mana tim kuat ya Desa Ngadirojo dan Hadowarno. Lapangan ini juga jarang absen mengelar
kegiatan tahunan yakni Agustusan, pasar malam serta layar tancap. Saya sering
diajak oleh kakung saya bila ada acara expo semacam itu dan nonton layar tancap
atau konser musik dengan nenek saya waktu malam. Sudah barang tentu nontonnya
juga berduyun-duyun dengan tetangga kanan kiri. Kayak piknik jadinya! Untuk
layar tancap bila mana ada sponsor rokok yang menggelar pastilah gratis tanpa
ticket masuk itu yang paling ditunggu-tunggu. Filmnya sendiri yang sering
ditayangkan ya produksi Nyonya Meneer – WARKOP DKI.. nah yang nonton juga
datang dari desa-desa pelosok yang lain.. yang jaraknya terkadang beberapa kilometer
jauhnya . Mereka hanya naik sepeda angin alias GOWES.. tapi itulah indahnya…
atau sekedar jalan kaki ke lapangan, tidak lupa kita bawa obor bamboo yang
diberi sumbu kain dan minyak didalam ruas bamboo tersebut sebagai lentera.
Lampu senter kita simpan karena beli baterenya mahal!!!
Festival Agustusan – HUT RI
Exhibisi
yang patut dan layaknya dikembangkan ialah Pesta Agustusan. Lapangan Ngadirojo
sendiri dijadikan pusat festival. Bagi anak kecil seusia saya, waktu Agustusan
disana heboh sekali. Semua golongan pasti ikut serta dan campur baur. Semua
turun ke jalan untuk melihat pawai mulai lomba gerak jalan, pawai sepeda hias,
dan pawai Agustusan juga – bedanya yang ini ada yang jalan kaki dan dengan
gerobak yang diatasnya ada berbagai macam dekorasi dan tampilan. Hampir setiap
desa mempertontonkan karyanya sambil dikirap dari arah utara (baran) s/d Hadiwarno
disebelah selatan. Paman saya sendiri pernah meringis kakinya kepanasan selama
pawai – waktu itu dia didandani ala Suku Papua dan tidak memakai alas kaki
sedangkan pawainya sendiri dimulai dari jam10an sampai sore. Mbahde saya juga
pernah diminta membuat boneka wanita yang sedang menggiling ketela untuk
dibuatkan makanan pasar “gethuk lindri”.
Lapangan
sendiri disulap jadi pusat exhibition temporer. Sepanjang sisi lapangan banyak
stan-stan dari desa atau sekolah pilihan yang berdiri. Sedangkan disisi luar
jalanan banyak penjaja makanan yang berdiri. Stand-stand Desa atau sekolah
semua menghadap ke tengah lapangan yang biasanya didirikan panggung pentas seni.
Dari stand sekolah, apa yang ditampilkan yakni hasil ketrampilan siswa selama
setahun belakangan. Dan semua itu dijual kepada pengunjung. Ketrampilan itu
antara lain pot bunga, tempat majalah, bulu pembersih, sapu ijuk, atau yang
lain. Sayang sekali bila kegiatan ini dihilangkan dari Kalendar pemerintah
kecamatan. Saya sendiri sejauh ini tidak sempat untuk menyaksikan Festival
Agustusan disana.
Saya
salut dengan rasa patriotism orang Lorok waktu dulu, ketika memasuki Bulan
Agustus mereka selalu mengecat pagar rumah mereka entah yang terbuat dari
bamboo atau sudah tembok bata dengan warna putih. Sedangkan warna merah digunakan
untuk mewarnai tulisan 17-8-45. Satu sisi pintu pagar bertuliskan tanggal dan
bulan sedangkan pasangan pintu pagar yang satunya bertuliskan tahun. Bendera Merah
Putih juga berkibar lebih dari seminggu lamanya.
Segi
bangunan lapangan ini juga tidak banyak mengalami perubahan yang signiifikan.
Dahulu ada 2 batang pohon besar yang tumbuh mengapit jalan masuk lapangan.
Sekarang akses tersebut diberi tampilan dua menara gading dari semen. Dulu juga
ada lapangan bola Volley didepan disebalah utara. Kedua sisi panjang lapangan
diapit oleh kebun kepala milik penduduk.
SD Negeri Ngadirojo
Inilah
sekolah Dasar kebangaan kecamatan SDN 1 Ngadirojo yang selalu berkompetisi
dengan SDN Wiyoro. Bangunan SD ini termasuk bangunan yang bagus waktu itu. Saya
tidak melihat adanya cacat fisik bangunan. Kalau saya bandingkan dengan SD saya
di kota lain.. ya masih unggul walaupun berada didesa. Kualitas alumninya
hampir 80 persen melanjutkan diSMP Negeri Ngadirojo.
Dari
sisi bangunan, denah dari atas nya seperti model T. Serta ditunjang beberapa
ruangan yang terpisah. Seperti Ruang Guru, Perpus, toiletnya. Ketiga ruangan
pendukung tersebut disatukan oleh lorong yang ada atapnya dengan bangunan
utama. bangunan yang membujur dari utara ke selatan disebelah timur ditempati oleh
siswa kelas 1-2 plus koperasi sekolah. Bangunan yang lain membujur dari timur
ke barat digunakan sebagai ruangan kelas mulai kelas 3-6. Bangunan tadi
dikelilingi oleh teras yang lebarnya sekitar 1.5m dengan alas tekel semen yang
masih mengkilap. Lapangan utama untuk upacara berada didepan halama sekolah.
Ditambah pula area parkir yang aksesnya lewat jalan dibelakang kantor polisi
dan SLB. jadi hampir tidak ada sepeda motor dan angin yang diparkir didepan.
Papan Nama sekolah rasanya dulu lebih dekat dengan bangunan utama dan menghadap
ke arah Utara didekat tanaman bunga. Seperti dalam gambar terbaru saat ini
papannya diberi cungkup dan letaknya lebih maju mendekati pagar. Waktu itu
pagarnya tidak setinggi dan semegah sekarang. kalau tidak salah pagarnya dulu
hanya setinggi 60-80 cm dari tanah. Untuk olah raga sekolah bisa mengunakan
area hijau disamping area parkir (biasanya kelas kecil), bisa juga mengunakan
area halaman pendopo Kawedanan untuk kelas besar. oh.. ya baru ingat! Guru Olah
Raganya waktu itu wajahnya mirip si Penyanyi ROCK terkenal yakni AHMAD ALBAR
yang bernama Pak Amin dengan kendaraan khasnya waktu itu Honda Super Cup warna
Merah.
Membahas
para guru saya masih ingat beberapa nama antara lain Pak Parnadi, Pak Tikno
dengan kumis khasnya – lebih mirip Charlie Chaplin dia mengajar PKN sewaktu
saya Kelas Satu, Lalu ada Pak Bari yang pandai bermain bola, beliau mengajar
IPA kelas besar. Ada juga Bu Sur yang mengajar Bahasa Indonesia, Bu Sugeng dsb.
Saya masih ingat ketika dihukum oleh walikelas saya tatkala sibuk mencari buku
Bahasa Indonesia saya waktu diajari membaca “ini budi” Bapak tersebut
mendatangi saya sambil membawa pengaris panjang bukannya untuk menghukum tapi
sekedar menasihati untuk duduk diam dan menyimak pelajaran. walau saya Cuma
sekolah sampai kelas empat, SD ini entah kenapa sulit tuk dilupakan. Yang
paling saya suka ialah pelajaran Ketrampilan Seni Budaya. Saya masih ingat
diminta untuk membuat pot bunga dari gallon cat ukuran 5 kilogram yang diberi
hiasan tetesan limbah plastik, membuat gambar dari gabus batang ketela pohon,
mewarnai dengan sikat gigi, membuat “dingklik”, dan mobil-mobilan dari kayu.
walau saya bukanlah anak terampil dalam ilmu teknik tapi saya suka dengan sisi
seni dan budayanya. Semoga saja kenangan ini bisa membuat SD Ngadirojo semakin
terdepan dalam mencetak generasi baru bocah Lorok.
Kawasan Kawedanan – Pendopo,
Alun-alun, Industri Koprah, Kantor Polisi
Kawasan
Kawedanan merupakan kawasan pusat pemerintahan Lorok kala itu. Sepertinya
Kawedanan memiliki posisi yang lebih tinggi dalam system pemerintahan Kec
Ngadirojo. Bisa jadi Istilah ini digunakan sebagai pusat pemerintahan kawasan
Lorok dan Sudimoro yang secara geografis berada disebelah timur kec. Ngadirojo.
Sudimoro merupakan batas wilayah sebelah timur kabupaten Pacitan dengan
kabupaten Trenggalek.
Sebagai
pusat pemerintahan, kawedanan dibangun didesa Ngadirojo, daerah pojok dengan
tikungan S atau model “Chicane”. Kawasan ini dilengkapi dengan tugu besar di
ujung halaman, bangunan pendopo dengan arsitektur khas masyarakat kulonan
“joglo” yang terbuka, kantor koramil yang berada disisi kiri lapangan atau
menghadap ke barat, serta sarana olahraga. Waktu saya kecil, tahun 1988-1990,
sarana itu berupa lapangan basket, tetapi entah sejak kapan lapangan tadi
dialih fungsikan sebagai lapangan Tenis.
Dahulu
pendopo ini juga difungsikan sebagai balai pertemuan, dan lomba paduan suara
dan pegelaran kesenian wayang baik wayang kulit maupun wayang wong. Sedangkan halaman depan pendopo seringkali
digunakan untuk upacara bendera. Halaman kawedanan juga pernah didapuk menjadi
area Pasar Malam pada awal tahun 1990-an.
Diluar
halaman pendopo sampai saat ini juga masih terdapat sebuah Toko kelontong yang
lokasinya persis diujung jalan alias pojok. Toko tersebut, yang menghadap ke
utara dulunya juga merupakan salah satu toko besar yang khusus menjual bahan
materiil serta onderdil sepeda angin. Disamping toko juga masih terdapat
bangunan gudang, kalau tidak salah gudang tadi merupakan sentra pengumpulan
“kopra” yakni daging kepala yang dikeringkan sebagai komoditi dasar minyak
goreng. Saat ini gudang tadi masih berdiri, lain halnya dengan fungsinya.
Demikian halnya dengan jumlah rumah penduduk yang mendiami kawasan pojok
ngadirojo. sepertinya tidak banyak berubah. Yakni 2-3 rumah yang menghadap kea
rah timur dan satu bangunan yang menghadap ke utara (toko tadi). demikian pula
toko yang berada didepan tugu kawedanan juga hampir tidak mengalami perubahan
berarti. Bangunan toko besar dan bersih tersebut masih tetap saja berdiri.
Pasar Lorok Wiyoro – Pasar Pahing
Bergerak
ke arah selatan dari kawasan kawedanan sampai pasar Wiyoro atau pasar Pahing
Lorok, saya mendapati beberapa bangunan yang masih tampak serupa dengan aslinya
walau sudah lewat 20 tahunan. Sebut saja, masjid Al-Tagwa yang berdiri disisi
kanan jalan raya dan berada dibelakang bangunan rumah warna Coklat dengan pintu
dan dinding dari kayu. Masjid tersebut merupakan masjid yang megah dikawasan
Ngadirojo. Didepan jalan masuk masjid tadi juga masaih ada bengkel motor. jaman
dulu bengkel itu khusus melayani service sepeda angin dan tambal ban. Lalu toko
buku siswa sebagai rujukan buku sekolah saya waktu itu. saat Ini dikawsan ini
telah berubah dengan maraknya bangunan toserba seperti Tupani, Alfamart dsb.
Sampailah
kita dipasar Lorok. Pasar ini merupakan apsar yang terbesar dan paling ramai
dikawasan kec Ngadirojo. Pasar Pahing julukan pasar ini selalu hiruk pikuk saat
hari pasaran pahing tiba. Sedangkan ketika pasaran jatuh hari “wage” banyak
pedagang yang memilih berjualan didaerah Pasar Panggul, 25 km arah timur Kec
Ngadirojo, sedangkan bila Pon, Kliwon atau Legi biasa-biasa saja. Satu pasar
lagi yang didekat pasar Pahing ialah pasar Tulakan yang berada disebelah barat
utara, di wilayah kec tetangga yakni kec Tulakan. Komoditi pasar pahing sendiri
yang dijualbelikan beraneka ragam. dari segi bangunan, pasar ini mengalami
renovasi. Kios dan pintu masuk pasar dimundurkan sehingga bisa menyediakan
lahan bagi pedagang temporer. Jadi dulu halaman pasar tidaklah seluas sekarang
ini. Selain ramai untuk bertransaksi pasar depan pasar pahing lama juga
berfungsi sebagai terminal bagi kendaraan.
Terminal Lorok & Jasa Travel
Sekarang
sudah dibangun sebuah terminal kecil sebagai pusat transportasi. letaknya
berada di sebelah selatan pasar dan sebelah kanan jalan. Terminal ini melayani
kendaraan umum yang ada. Bus mini juga beroperasi didaerah ini, diantaranya PO
Aneka jaya, Ratna, Pelita Jaya, Cahaya Mulya. PO Ratna dulu memiliki trayek
Pacitan – Lorok, sedangkan Aneka Jaya, Cahaya Mulya lebih memilih trayek Lorok
– Panggul – Trengalek yang notabene lebih banyak peminatnya. Banyak penumpang
yang hendak ke Surabaya lebih memilih lewat jalur “etan” alias Trenggalek. Dulu
setiap orang Lorok yang ingin bepergian jauh seperti ke Surabaya, mereka sudah
standby didepan jalan raya sejak pukul setengah empat pagi sehingga mereka bisa
tiba di Trenggalek pukul tujuh pagi. Kebalikannya, bila mau ke Lorok dari
trenggalek sudah pasti mereka berharap pukul 03 Pagi sudah sampai diterminal
Trenggalek. Kala itu, jarang sekali yang memulai bepergian sore atau malam
hari. Bus-bus tersebut lebih memilih masuk kandang menjelang magrib.
Saat
ini kondisi Bus tersebut sangat memprihatinkan, selain berkurangnya jumlah
layanan operasi, kondosi fisik bus tersebut juga ala kadarnya. Bahkan banyak
bus yang tidak beroperasi lagi. hal ini hampir terjadi pada dua trayek tadi
baik jalur “etan” atau “kulon”. hal ini disebabkan oleh semakin banyaknya
pemilik motor di daerah ini sehingga lebih memilih naik motor karena ya
medannya menarik dan lebih cepat. Rata-rata waktu tempuh berkisar 1,5 jam – 2
jam lewat trengalek dan 30-45 menitan lewat Pacitan. Selain makin maraknya
motor, keberadaan travel yang langsung menghubungkan Surabaya – Lorok juga
berpengaruh pada merosotnya kualitas dan frekwensi transportasi didaerah
tersebut. Kebaradaan serta semakin banyaknya jumlah truck pick up yang diberi
atap serta kendaraan minibus dengan trayek yang lebih pendek membuat nadi bus
mini tersebut tersendat.
Jaman
dulu masyarakat sana lebih memilih naik bus mini karena trayek langsung dan
lebih prestihge.. Sekarang dengan adanya Travel seperti Alextra dan Cahaya
Mulya, masyarakat sekitar lebih memilih mengunakan jasa travel dengan alasan
lebih pasti dapat tempat duduk, kendaraan AC dan lebih bisa menyingkat waktu
perjalanan walau biaya yang dikenakan diatas akumulasi biaya naik bus.
Setelah
munculnya Travel maka terminal lorok hanya menjadi pemberhentian kendaraan umum
saja, karena travel senidiri sepertinya tidak boleh parkir di lokasi terminal.
Kendaraan pendukung yang ada seperti jenis becak motor – baik yang mengunakan
mesin motor lawas atau sekelas mesin pemotong rumput. Becak pun masih ada walau
jumlahnya semakin sedikit. lalu keberadaan ojek motor juga masih bisa dijumpai
diterminal Lorok.
Bioskop Wiyoro
Hiburan
utama masyarakat Lorok antara tahun 1985—1992 selain pasar malam dan festival,
yakni berdirinya Bioskop Wiyoro. Bangunan bioskop ini berada persisi didepan
pasar Pahing Lorok. Bangunan yang hampir menyerupai bentuk gudang yang panjang
ini menjadi primadona para kaum muda waktu itu. Kalau tidak salah semalam
mereka mengelar 2 kali pertunjukan. Apalagi saat malam minggu. Yang pasti film
yang diputar juga tidak kategoro film gress.. rata-rata kita harus menunggu
film tersebut diputar diKota. Walau begitu ya masyarakat sudah bersyukur
sekali. Selain harganya merakyat tahun 1990-an HTM hanya seharga Rp. 200-250
per permirsa dewasa. Entah sejak Kapan gedung film tersebut sudah tidak
beroperasi lagi. Lahan bekas gedung tadi sudah direnovasi menjadi lahan stand
beberapa toko yang buka sampai pukul 9-an malam.
Yang
berkesan dari Bioskop ini ya saat mereka mengelar promo film. Manager
mengunakan mobil pick up atau angkutan kecil keliling dari arah Baran bahkan
desa Cangkring disebelah utara lalu balik arah samapai kawasan hadiwarno.
Dimobil tersebut terpampang poster kanvas yang besar serta megaphone. Sebagai
anak kecil sekaligu anak desa, saya kerap kali berlarian, menghampiri dan
berebutan dengan teman sepermainan tatkala mereka melempar brosur atau pamlet
tentang film tersebut. Bangganya minta ampun bila bisa mendapatkan pamphlet
tadi. Sudah pasti pamphlet tadi saya
bawa dan pamerkan ke teman-teman sekelas. Wuih Bangga!!!
Alhamdulillah masih bisa mudik ke Lorog
BalasHapus