Selasa, 07 Mei 2013

Poeter Kayoon nan Populer



Jl. Kajoon

Poeter Kayoon nan Populer

Surabaya (SurabayaPagi.com) Nama pasar bunga Kayoon selalu lekat bagi warga Surabaya dan sekitar Kota Pahlawan.  Kawasan yang membentang disisi Kalimas ini, sudah sejak dulu menjadi jujukan warga kota bila ingin bersantai sejenak. Pasalnya, jauh sebelum tahun 1942an, bantaran Kalimas di jalan Kayun ini merupakan taman yang tertata rapi. Tidak heran jika banyak orang yang sering mencari ketenangan di taman Kayun ini. Sehingga memunculkan istilah “Poeter Kayoon” atau kerap diplesetkan menjadi Puter Kayoon yang merujuk pada kegiatan jalan-jalan sore disekitar jalan Kayoon.

Keindahan kawasan ini lantaran dianggap sebagai kawasan elit yang ditinggali oleh orang-orang Eropa di Surabaya. Rumah – rumah besar gaya kolonial banyak didirikan di sepanjang jalan ini. Begitu pula berdiri klub dayung milik orang – orang Belanda yang gemar akan olah raga ini. Semakin mempercantik keindahan kawasan ini.

Tak ayal, keindahan taman Kayun yang sudah terkenal sejak sebelum perang menjadi rubrik tersendiri di harian Nieuw Soerabaiache Handelsblad, dengan diberi nama “Poeter Kajoon”. Konon nama rubrik mingguan ini diambil untuk menceritakan bagaimana keindahan Kayun di masa itu.

Setelah perang kemerdekaan berakhir, profesi pedagang bunga semakin ditekuni warga sekitar. Konon di jalan ini dulunya dipenuhi pohon flamboyant yang juga memperindah kawasan tersebut. Pemerintah kota pada tahun 1969 melakukan pembenahan dalam rangka persiapan PON ke-7 yang diadakan di Surabaya. Para pedagang bunga direlokasi ke jalan Kayun. Hingga kini kayun terkenal sebagai pusat perdagangan bunga hingga saat ini.


Taman Kota Surabaya Hobiru atau Hoofdbureau



Djotangan Militaire Kazerne - Hobiru

Taman Hoofdbureau Nan Cantik

Kecantikan sudut-sudut kota Surabaya tempo dulu memang mempesona. Kecantikan beberapa kawasan yang tertata rapi nan cantik sepertinya mengilhami para pemimpin sekarang dalam mempercantik kota. Salah satu wajah cantik sudut kota Surabaya tempo dulu yakni kawasan Djotangan Militaire Kazeme atau yang biasa dikenal dengan nama Hobiru. Terlebih dengan keberadaan sebuah taman yang dibangun didepan gedung  yang saat ini dikenal sebagai kantor Polrestabes Surabaya.

Hobiru sendiri merupakan ungkapan yang mudah dilafalkan oleh lidah lokal Surabaya. Sedangkan nama aslinya Hoofdbureau van Politie te Soerabaia.  Dari kata Hoofdbureau yang artinya biro pusat itulah lidah lokal warga Surabaya menyebutnya dengan kata Hobiru.

Di depan gedung Hobiru, terdapat sebuah taman khas Eropa. Dimana jalanan atau jalur pejalan dan kendaraan meliuk-liuk dan beberapa spot tempat tanaman atau rumput. Seolah-olah, taman ini berhasil menyamarkan kesan Hoofdbureau yang penuh wibawa sebagi biro Pusat kepolisian.  Taman tersebut juga dilengkapi dengan sebuah tugu Bali yang dibangun pada 1869. Tugu ini didirikan untuk mengenang jasa tentara Belanda yang bertempur di pulau Bali.

Melangkah keluar, akan tampak jalur trem uap jalur veteran (dulunya sicieteitstraat) menuju ke Jalan Jembatan Merah (dulunya Willemskade) yang berada di jalan Paradeplein yakni jalan yang melintang didepan gedung.  Konon, Sebab setiap pekan selalu ada parade militer di depen gedung ini sehingga jalan tersebut disebut parade plein alias lapangan parade. Kondisi sekarang lahan taman terbukanya yang dulu cantik dengan lekukan seperti ini sekarang menjadi lapangan yang lapang dan polos.  Akankah taman Hobiru yang pernah ada akan dihidupkan kembali untuk mempercantik kota? atau akankah lapangan bekas taman akan dibiarkan polos? Atau dibangun bangunan modern? jo



Taman Kota Surabaya - Alun-Alun Contong




Sentra Delman sekarang jadi Pasar Keramik????



“Contong” Sebuah nama yang asing bagi telinga generasi millenium di kota ini. Nama yang bunyinya terdengar agak aneh ini merupakan salah satu tempat tempat publik pada zaman kolonial. Pada waktu belanda masih berkuasa ditanah surabaya, alun-alun yang juga berfungsi sebagai pangkalan kereta kuda alias delman ini dulu biasa disebut Von Bultzingslöwenplein (1889), seorang konsul Jerman di Surabaya, Günther von Bultzingslöwen (1839-1889). Akan tetapi arek-arek surabaya lebih suka menyebutnya dengan istilah Alun Alun Contong. Kata “Contong” yang juga memiliki arti kerucut dalam bahasa Jawa, kerucut untuk mewakili bentuk lahan.

Saat ini kawasan kanan kiri Alun-alun Contong telah berubah menjadi pusat niaga keramik.  Kawasan ini terletak dipertemuan dua jalan yakni antara Jalan Pahlawan dan Jalan Kramat Gantung.  Generasi sekarang lebih mengenal kawasan ini dengan nama daerah Baliwerti.


 

Minggu, 05 Mei 2013

Gereja Bersejarah Surabaya - GPIB Bubutan 1925


Gereja GPIB Bubutan 1925

Menara Jam Tetap Kosong

 
Komposisi warga kota Surabaya yang multi etnis dan multi religi sejak dulu memberikan beberapa bangunan religi bersejarah. Warisan budaya religi yang ada di Kota Pahlawan pun tidak hanya kondang dengan kawasan Sunan Ampel dan Gereja Katholik Kepanjen. Salah satu warisan budaya yang mungkin tidak terlalu tersohor ialah Gereja GPIB di kawasan Bubutan Surabaya.

Gereja karya arsitek Albert Zimmerman pada tahun 1924 ini dibangun di Jl Bubutan No. 69 atau persisnya  di pojok jalan Bubutan dan jalan Pringadi. Pada awalnya, di depan gereja tersebut terdapat sungai dari arah selatan ke utara, tetapi sekarang sungai tersebut sudah tidak tampak lagi. Konon, sungai tersebut dulunya sering digunakan untuk mengisi air mobil pemadam kebakaran atau brandweer, dan juga sering digunakan untuk latihan pasukan pemadam kebakarane pemerintah Hindia Belanda.

Gereja ini semakin megah dengan menara jam yang menjulang. Albert Zimmerman yang dilahirkan pada tahun 1880 silam, memberi nama gereja ini ‘Protestantsche Kerk’ atau ‘Nederlandsch Hervormde Kerk’ bagi gereja ini. Pada tahun 1948, Gereja ini berganti nama menjadi GPIB (Gereja Protestan Indonesia Barat) ‘Immanuel’. Nama yang tetap dipergunakan hingga sampai saat ini.

Toh walaupun sudah diberi nama resmi, warga Surabaya lebih sering menyebutnya secara singkat dengan nama “Gereja Bubutan” sesuai dengan lokasi di mana Gereja itu berada yakni di kawasan daerah lawas sebagai cikal bakal kota Surabaya. Bubutan sendiri berada di Kelurahan Alun-Alun Contong, tidak jauh dari Tugu Pahlawan.

Konon, istilah Bubutan berasal dari kata Butotan. Butotan sendiri merupakan istilah untuk pintu gerbang yang tanpa sekat. Gerbang ini menghubungkan antara kampung Tumenggungan dengan Kraton di masa Adipati Surabaya itu, seorang tokoh legenda di ranah Surabaya zaman silam.

Selain nama yang tidak berubah, kondisi gedungpun juga tidak banyak berubah.  Hanya direnovasi dengan menambah 2 buah daun jendela besar dibagian atap serta ujung menara.  Hingga saat ini, tempat jam menara dibiarkan kosong. Sangat disayangkan bukan? jo

Gereja Bersejarah Surabaya 3 - GKJW Gubeng


Gereja Klasik Surabaya
Kental Arsitektur Belanda


Gereja Kristen Jawi Wetan atau singkatnya GKJW telah menjadi salah satu aliran kristiani di Kota Surabaya. Bukti nyata dari keberadaan GKJW yakni bangunan Gereja yang disebut juga sebagai GKJW GUBENG. Konon bangunan gereja ini telah berdiri lebih dari delapan puluh delapan tahun lamanya. Hingga kini, bangunan gereja yang memiliki tulisan aksara jawa diatas pintu gernang gereja tersebut tersebut masih kokoh berdiri di Jalan Mayjend Prof. Dr. Mustopo 25-27, Gubeng, Surabaya.

GKJW Gubeng masih kental dengan arsitektur Belanda, yakni halaman yang luas serta taman-taman kecil yang asri nan terawat. Hal tersebut membuat pemandangan gereja tampak kontras dengan bangunan modern di sekitarnya. Napak tilas gereja yang kini memiliki 2700 jemaat itu memang erat sejarahnya dengan zaman kolonial Belanda. Nuansa perpaduan khas Jawa-Eropa begitu terasa yakn bangunan gereja yang bercita rasa Eropa, namun dengan jemaat yang mayoritas berwajah Jawa menjadi satu sisi keunikan gereja yang berwarna putih ini.

Tak disangka, pioner GKJW yang berada di Gubeng ini ialah seorang Jerman yang berprofesi sebagai tukang arloji di daerah Peneleh, Surabaya.  Tokoh tersebut bernama Johanes J. Emde yang dilahirkan pada 18 Desember 1774 dari keluarga yang berprofesi sebagai molenar, atau tukang kincir angin di Schimilinghauzen-Arolzen Jerman. Konon, pada usia remaja ia merantau bekerja keluar dari desanya. Pada tahun 1811, Johanes menikah dengan perempuan bangsawan Jawa bernama Amarentia Manuel (nama baptis, tidak diketahui nama aslinya). Mereka mempunyai anak perempuan bernama Johana Wilhelmina.

Tahun 1861 jumlah orang Jawa Kristen yang ada di Surabaya hanya 56 orang, yakni 46 dewasa dan 10 anak. Atas bantuan Het Hulpzendeling Genootshcap akhirnya mereka mendapatkan sebuah gereja kecil untuk ibadah. Pada tahun 1911, seorang jemaat yang bekerja sebagai jaksa mempersilahkan sebagian rumahnya untuk dipakai sebagai tempat ibadah. Akhirnya pada tahun1924 berdirilah gedung gereja permanen di Gubeng Viaduct, sekarang Prof. Dr. Mustopo. jo